PENGANTAR FIQIH KURBAN (UDHIYYAH)

Pengertian Udhiyyah (hewan kurban)
Udhiyyah secara bahasa berarti hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha. Ibnul A’raby
sebagaimana dikutip oleh Ibnu Manzhur dalam Lisânul ‘Arab mengatakan, bahwa untuk hewan kurban
ada empat istilah, Udhiyyah dan Idhiyyah yang bentuk jamak keduanya adalah adhâhy, juga dhahiyyah
yang bentuk jamaknya adalah dhahâyâ, serta terakhir adalah adhâh, yang bentuk jamaknya adalah
adhan.



Dari penjelasan di atas nampak bahwa penamaan hewan kurban dengan keempat kata di atas,
didasarkan kepada waktu di mana hewan kurban tersebut disembelih, yaitu waktu dhuha pada hari raya
Idul Adha.
Keutamaan bagi yang berkurban
Orang yang berkurban pada hari raya Idul Adha, mempunyai banyak keutamaan. Di antaranya,
kelak seluruh bulu, darah, tanduk, dan kukunya akan menjadi saksi kebaikan bagi yang berkurban.
Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:
)) عن عائشة، أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى
الله من إهراق الدم، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها، وأشعارها، وأظلافها، وأن الدم ليقع من الله
بمكان، قبل أن يقع من الأرض فيطيبوا بها نفسا)) [رواه الترمذي، وقال: حديث حسن غريب]
Artinya: “Dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada perbuatan keturunan Adam pada hari raya
Idul Adha yang paling dicintai oleh Allah, selain berkurban. Kelak hewan kurban itu akan datang
dengan tanduknya, bulu-bulunya, juga kuku-kukunya (sebagai saksi kebaikan bagi yang
melakukannya). Serta darah hewan kurban itu, akan jatuh di sebuah tempat terlebih dahulu (maksudnya
akan diterima oleh Allah lebih dahulu) sebelum darah itu jatuh ke atas tanah, sehingga hewan kurban
itu memberikan banyak kebaikan kepada jiwa-jiwa yang melakukannya” (HR. Turmudzi. Imam
Turmudzi berkata: “Hadits ini adalah Hadits Hasan Gharib).
Berdasarkan hadit di atas, Syaikh Mubarakfury dalam bukunya Tuhfatul Ahwadzî, dalam bab
keutamaan berkurban, mengatakan bahwa kelak pada hari kiamat, hewan kurban tersebut akan datang
kepada pemiliknya persis sebagaimana keadaannya di dunia dahulu, dengan tidak berkurang satupun,
sebagai saksi kebaikan. Dan setiap anggota tubuh dari hewan tersebut akan berubah menjadi pahala
yang besar, serta hewan kurbannya itu kelak akan menjadi tunggangannya melewai jembatan shirât, di
hari akhir kelak.
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:
عن زيد بن أرقم قال: قلت أو قالوا: يا رسول الله ما هذه الأضاحي؟ قال: ((سنة أبيكم إبراهيم))
قالوا: ما لنا منها؟ قال: ((بكل شعرة حسنة)) قالوا: يا رسول الله فالصوف؟ قال: ((بكل شعرة من
الصوف حسنة)) [رواه أحمد، وابن ماجه، والبيهقي، والحاكم وغيره]
Artinya: “Zaid bin Arqam berkata: ‘Aku atau mereka bertanya: “Ya Rasullah, Mengapa berkurban?”
Rasulullah saw bersabda: “Mengikuti sunnat nenek moyang kalian, Nabi Ibrahim as”. Mereka bertanya
lagi: “Apa keutamaannya bagi kami?” Rasulullah saw bersabda: “Setiap bulu nya ada kebaikan
(pahala)”. Mereka bertanya lagi: “Ya Rasulullah, bagaimana dengan bulunya wol (bulu domba)?”
Rasulullah saw menjawab: “Setiap bulu wolnya juga ada kebaikan (pahala)” (HR. Ahmad, Ibnu Majah,
Baihaki, Hakim dan lainnya).
Makalah ini dipresentasikan pada acara pengajian Majlis Taklim al-Muttaqien, kelompok pengajian ibu-ibu KBRI
Kairo. Disampaikan pada hari Selasa, 17 Nopember 2009 di Mesjid Indonesia Cairo, Dokki, Giza.
1
Hukum Udhiyyah (kurban)
Seluruh ulama sepakat, bahwa Udhiyyah diperintahkan (masyru’ah). Di antaranya adalah
berdasarkan ayat di bawah ini:
[ فصل لربك وانحر [الكوثر: 2
Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena TuhanMu, dan sembelihlah hewan kurban” (QS. Al-Kautsar
ayat 2).
Juga berdasarkan, di antaranya, dua hadits di bawah ini:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: ضَحَّى النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِكَبْشَينِْ أَمْلَحَينِْ أَقْرَنَينِْ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ،
وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Anas berkata: “Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor domba berwarna putih bersih dan
masing-masing mempunyai dua tanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil
membaca basmallah dan takbir, kemudian meletakkan kaki beliau di samping leher kedua domba
tersebut” (HR. Bukhari Muslim).
عن ابن عمر قال: أقام رسول الله صلى الله عليه و سلم بالمدينة عشر سنين يضحي [رواه الترمذي،
وقال ابو عيسى هذا حديث حسن صحيح]
Artinya: “Ibnu Umar berkata: “Rasulullah saw menetap di Madinah selama sepuluh tahun, dan selama
itu beliau melakukan kurban” (HR. Turmudzi, Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini Hadits Hasan
Shahih).
Hanya saja, apakah perintah di atas berarti wajib atau sunnah biasa? Para ulama dalam hal ini
terbagi dua pendapat:
Pendapat pertama, mengatakan, bahwa kurban hukumnya wajib bagi yang mampu. Pendapat
ini merupakan pendapatnya Mujahid, Makhul, Imam Laits bin Sa’ad, Imam Auza’i, Sufyan ats-Tsaury,
Rabi’ah, Zufar dan asy-Sya’bi. Imam asy-Sya’bi berkata: “Bagi yang mampu, tidak diberikan
keringanan (rukhshah) untuk meninggalkan kurban, kecuali bagi yang sedang melakukan ibadah haji
atau yang sedang bepergian (musafir)”.
Pendapat pertama ini juga merupakan pendapat Jumhur Hanafiyyah, Malikiyyah dan
pendapatnya Ibnu Taimiyyah.
Di antara dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:
[ فصل لربك وانحر [الكوثر: 2
Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena TuhanMu, dan sembelihlah hewan kurban” (QS. Al-Kautsar
ayat 2).
Selain itu, berdasarkan di antaranya hadits-hadits di bawah ini:
عن جندب بن سفيان قال: شهدت النبي صلى الله عليه وسلم يوم النحر فقال: ((من ذبح قبل أن
يصلي فليعد مكانها أخرى، ومن لم يذبح فليذبح)) [رواه البخاري]
Artinya: “Jundub bin Sufyan berkata: “Saya pernah menghadiri Rasulullah saw pada hari raya kurban
(Idul Adha), Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘Id,
maka hendaklah ia mengulangi kurbannya itu dengan hewan lainnya, dan siapa yang belum
menyembelihnya, maka sembelihlah sekarang” (HR. Bukhari).
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: ذَبَحَ أَبُو بُرْدَةَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: ((أَبْدِلْهَا )),
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ عِنْدِى إِلاَّ جَذَعَةٌ - قَالَ شُعْبَةُ وَأَظُنُّهُ قَالَ - وَهِىَ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّةٍ. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((اجْعَلْهَا مَكَانَهَا وَلَنْ تجَْزِىَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ)) [أخرجه البخاري ومسلم].
Artinya: “Barâ bin ‘Âzib berkata: “Abu Burdah menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat ‘Id
dimulai, Rasulullah saw kemudian bersabda: “Gantilah hewan kurban kamu dengan yang lainnya” Abu
Burdah berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak mempunyai hewan lain selain Jadza’ah (yaitu hewan kurban
2
yang apabila domba usianya baru enam bulan, kurang dari satu tahun). Syu’ban berkata: “Saya mengira
ia berkata: ‘Jadza’ah lebih baik dari musinnah (yaitu hewan yang apabila domba sudah berusia satu
tahun masuk tahun kedua)’. Rasulullah saw bersabda: “Jadikan Jadza’ah ini sebagai pengganti hewan
yang telah dipotong sebelum shalat id tersebut, namun hewan Jadza’ah tidak mencukupi dijadikan
hewan kurban kepada siapapun setelah kamu” (HR. Bukhari Muslim).

)) عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن
مصلانا )) [رواه ابن ماجه]

Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang mempunyai kelapangan rizki,
namun ia tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami” (HR. Ibnu Majah).
Ayat al-Qur’an di atas sangat jelas perintah untuk melakukan kurban, dan pada dasarnya
perintah menunjukkan wajib, karena itu kurban juga wajib.
Hadits-hadits di atas juga menguatkan kewajiban berkurban bagi yang mampu. Dalam hadits
pertama Rasulullah saw juga memerintahkan untuk melakukan kurban. Hadits kedua pun demikian,
ketika Abu Burdah tidak tepat waktu menyembelih kurbannya, Rasulullah saw memerintahkannya
untuk mengganti dengan hewan kurban lainnya dan agar disembeli setelah shalat ‘id. Apabila kurban
merupakan hal yang sunnat, tentu Rasulullah saw tidak akan menyuruh mengulanginya.
Hadits ketiga, lebih tegas lagi. Siapa yang mampu untuk berkurban, namun tidak
melaksanakannya, maka Rasulullah saw memperingatinya sebagai orang yang tidak mengikuti
sunnahnya. Apabila kurban itu hukumnya sunnat, tentu Rasulullah saw tidak akan tegas mengancam
seperti di atas.
Pendapat kedua, mengatakan, bahwa kurban hukumnya Sunnah Muakkadah bagi yang
mampu. Pendapat ini merupakan pendapatnya Abu Bakar, Umar bin Khatab dan putranya, Ibnu Umar,
Bilal, Ibnu Mas’ud, juga pendapatnya Sa’id bin al-Musayyib, Alqamah, Atha’, Thawus, Abu Yusuf,
Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, Imam Malik, dalam satu pendapat, juga merupakan
pendapatnya Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zhahiriyyah.
Di antara dalil yang disodorkan pendapat kedua ini adalah hadits-hadits di bawah ini:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (( إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ، فَلاَ
يمََسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا)) [رواه مسلم]

Artinya: “Dari Ummu Salamah, Rasulullah saw bersabda: “Apabila sudah masuk sepuluh hari pertama
dari bulan Dzulhijjah, dan seseorang berniat untuk berkurban, maka janganlah ia memotong rambutnya
dan bulu-bulu yang berada di kulitnya” (HR. Muslim).
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (( إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الحِْجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ
يُضَحِّىَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ)). [رواه مسلم]
Artinya: “Dari Ummu Salamah, Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian telah melihat hilal bulan
Dzulhijjah, dan seseorang berniat untuk berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kukukukunya”
(HR. Muslim).
Kedua hadits di atas sangat jelas bahwasannya berkurban bagi yang mampu tidaklah wajib. Hal
ini karena Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas mengatakan dengan menggunakan kata-kata:
‘seseorang berniat atau hendak’’. Kalau saja kurban itu wajib, tentu Rasulullah saw tidak akan
menggunakan kata-kata tersebut.
عَنْ أَبِي رَافِعٍ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان إذا ضحى، اشترى كبشين سمينين أملحين
أقرنين، فإذا خطب و صلى ذبح أحد الكبشين بنفسه بالمدية، ثم يقول: ((اللهم هذا عن أمتي جميعا،
من شهد لك بالتوحيد، و شهد لي بالبلاغ)) ثم أتي بالآخر فذبحه و قال: ((اللهم هذا عن محمد و آل
3
محمد))، ثم يطعمهما المساكين، و يأكل هو و أهله منهما، فمكثنا سنين قد كفانا الله الغرم و المئونة،
ليس أحد من بني هاشم يضحي [رواه الحاكم والبيهقي وغيره]
Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau
membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing
mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua
hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini
adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul,
utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya
dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad
dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada
orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya
itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan
denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki
dan lainnya).
Hadits di atas semakin memperjelas ketidakwajibannya berkurban bagi yang mampu. Hal ini
nampak dengan tidak berkurbannya Bani Hasyim beberapa tahun, karena mereka memandang cukup
dengan kurban yang dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mereka. Apabila berkurban itu wajib, tentu
mereka akan melakukannya untuk diri mereka sendiri, karena pasti mereka adalah orang-orang yang
mampu atau paling tidak ada yang mampu.
عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: ((ثلاث هن علي فرائض
ولكم تطوع: النحر، والوتر، وركعتا الضحى)) [رواه البيهقي والطبراني وغيره]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Ada tiga hal yang wajib bagiku, namun sunnat
bagi kalian: ‘kurban, shalat Witir dan dua rakaat shalat Dhuha” (HR. Baihaki, Thabrani dan lainnya).
Hadits Ibnu Abbas di atas lebih tegas lagi, Rasulullah saw menggunakan kata sunat untuk
kurban bagi ummatnya yang mampu, dan tidak mengatakan sebagai sesuatu yang wajib.
عن جابر بن عبد الله رضي الله أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى للناس يوم النحر، فلما
فرغ من خطبته وصلاته، دعا بكبش فذبحه هو بنفسه وقال: ((بسم الله والله أكبر، اللهم عني وعمن
لم يضح من أمتي)) [رواه البيهقي والحاكم وأحمد وغيره]
Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya Rasulullah saw shalat Idul Adha bersama orang-orang
saat itu. Ketika beliau selesai khutbah dan shalat, beliau mengambil seekor domba, kemudian
menyembelihnya dengan tangannya sendiri sambil berdoa (ketika hendak menyembelihnya): ‘Bismillâh
wallâhu akbar, (dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar), ya Allah, ini adalah kurban
saya, juga kurban ummatku yang tidak mampu melaksanakan kurban” (HR. Baihaki, Hakim, Ahmad
dan lainnya).
Hadits terakhir ini juga demikian. Rasulullah saw mengetahui bahwa di antara ummatnya kelak
ada yang tidak berkurban, dan Rasulullah saw tidak mengecamnya. Apabila kurban itu wajib, tentu
Rasulullah saw tidak akan melakukan demikian, dan beliau akan mengingkari mereka yang tidak
melakukan kewajiban. Ini menunjukkan bahwa kurban bukanlah sesuatu yang wajib.
Adapun mengenai ayat yang disodorkan pendapat pertama, para ulama dalam menakwilkan ayat
di atas beragam pendapat. Pendapat yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa yang dimaksud
ayat di atas adalah ‘ shalat dan berkurbanlah karena Allah’, bukan tentang berkurban pada Idul Adha.
Bahkan, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (7/357) mengatakan, bahwa mereka yang menafsirkan
kata an-nahr dalam ayat di atas dengan kurban Idul Adha, adalah pendapat yang tidak berdasarkan ilmu.
Imam Ali dan Ibnu Abbas, lanjutnya, juga yang lainnya, mengatakan bahwa ayat tersebut maksudnya
adalah meletakkan tangan ketika shalat pada hari Idul Adha. Dan tidak ada satu pun ulama sebelum
mereka yang berpendapat bahwa an-nahr yang dimaksud adalah Kurban Idul Adha.
4
Sementara berkaitan dengan hadits-hadits yang disodorkan oleh mereka yang mewajibkan
kurban bagi yang mampu, para ulama membantahnya. Ibnu Hajar, misalnya, dalam Fathul Bari
(10/6,19) mengatakan, bahwa hadits dari Jundub bin Sufyan, bukan dalil wajibnya kurban, akan tetapi
menjelaskan syarat berkurban yang sesuai petunjuk syara’. Bahwa, di antara syarat berkurban, adalah
hendaknya dilakukan setelah shalat Adha, bukan sebelumnya.
Hadits di atas sangat persis dengan hadits tentang shalat Dhuha, di mana Rasulullah saw
mengatakan: “Apabila matahari telah terbit, maka lakukanlah shalat dhuha kamu”. Namun, sekalipun
menggunakan perintah, seluruh ulama sepakat bahwa Shalat Dhuha itu hukumnya sunnat, bukan wajib.
Dan hadits tersebut bukan sebagai perintah akan wajibnya shalat Dhuha, hanya menjelaskan waktu atau
syarat shalat Dhuha, yaitu dilakukan setelah matahari terbit.
Sedangkan hadits kedua yang disodorkan oleh pendapat pertama, dijawab oleh al-Khatthaby
dalam bukunya al-Ma’âlim (2/199). Menurutnya, hadits tersebut juga tidak berarti bahwa berkurban
adalah wajib lantaran diperintahkan menggantinya dengan hewan yang lain. Karena, dalam ajaran
Islam, segala hal yang salah atau tidak tepat, baik itu wajib ataupun sunnat, selalu ada penggantinya.
Sementara hadits terkahir dari Abu Hurairah, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (7/357, 358),
mengatakan bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, karena Dhaif. Di dalamnya terdapat
rawi bernama Abdullah bin ‘Iyasy, dan ia bukanlah rawi terpercaya.
Seandainya hadits di atas juga shahih, maknanya bukan menjelaskan kewajiban berkurban.
Hanya saja, mereka yang sudah mampu namun tidak berkurban, sungguh orang-orang yang merugi,
sekalipun tentu tidak berdosa.
Dari pemaparan di atas, penulis lebih condong kepada pendapat jumhur ulama yang
mengatakan bahwa berkurban bagi yang mampu hukumnya Sunnat Muakkadah, bukan wajib. Hal ini
karena dalil-dalil dan argument yang disodorkannya lebih kuat dari pada pendapat pertama. Wallahu
a’lam bis shawab.
Syarat-syarat orang yang berkurban
Terdapat beberapa syarat bagi mereka yang hendak melakukan kurban. Syarat-syarat ini ada
yang disepakati oleh para ulama, dan ada juga beberapa syarat yang diperselisihkan oleh para ulama.
Syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama adalah:
1. Islam
Syarat pertama mereka yang hendak berkurban adalah seorang muslim. Hal ini karena kurban
merupakan salah satu bentuk ibadah, dan selain muslim tidak termasuk di dalamnya. Di samping
itu, semua hadits tentang kurban ditujukkan kepada orang muslim.
2. Milik sempurna (al-milk at-tâm)
Syarat kedua, hewan yang akan dikurbankan tersebut betul-betul adalah miliknya secara
sempurna. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan berkurban dengan domba atau hewan kepunyaan
orang lain, atau dengan domba yang menjadi hutang baginya dan tidak mungkin dapat dibayarnya.
Karena, belum dipandang milik sempurna.
3. Mampu (istithâ’ah).
Syarat ketiga, orang yang bersangkutan adalah orang yang mampu untuk melakukannya. Lalu,
apa ukuran mampu dimaksud?
Hanafiyyah mensyaratkan dalam keadaan lapang (mûsiran), yaitu sebagaimana kewajiban Zakat
Fitrah. Menurut Hanafiyyah, mereka yang dipandang lapang untuk berkurban adalah yang pada saat
itu memiliki kekayaan mencapai nishab emas dan perak, yaitu dua ratus dirham perak atau senilai
dengan 85 gram emas. Dan nilai tersebut di luar rumah, gaji untuk pembantu, pakaian, dan
perlengkapan rumah yang diperlukan. Apabila mempunyai nishab tersebut, maka berkurban
baginya wajib.
Menurut Malikiyyah, ukuran mampu tersebut adalah apabila telah memiliki persediaan uang
atau kekayaan untuk hidup dan keperluan-keperluan primer selama satu tahun. Apabila mempunyai
lebih, maka dianjurkan baginya berkurban.
5
Sedangkan menurut Syafi’iyyah, ukuran mampu dimaksud adalah apabila mempunyai kelebihan
dari keperluan pokoknya, juga keperluan pokok orang-orang yang menjadi tanggungannya, pada
hari raya tersebut ditambah tiga hari berikutnya (Hari Tasyriq). Apabila mempunyai kelebihan dari
keperluan tersebut, maka sunnat baginya melakukan kurban.
Sedangkan bagi Hanabilah, bagi siapa saja yang mampu menurut ukurannya, sekalipun ia harus
berhutang lebih dahulu, dan ia yakin dapat membayarnya, maka baginya sunnat untuk berkurban.
Sedangkan syarat-syarat yang diperselisihkan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1. Baligh dan berakal.
Sebagian ulama, seperti Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, Zufar, fuqaha Syafi’iyyah,
berpendapat bahwa syarat orang yang berkurban adalah telah baligh dan berakal. Oleh karena itu,
untuk anak kecil yang belum baligh atau orang gila, maka tidak wajib atau tidak sunnat baginya
untuk berkurban.
Hal ini di antaranya berdasarkan hadits di bawah ini:
: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون حتى يبرأ، وعن النائم
حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم)) [رواه أحمد، وأبو داود والترمذي، وغيره، وقال
الترمذي: حديث حسن صحيح]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Qalam diangkat (maksudnya tidak dicatat sebagai dosa)) bagi
tiga golongan: orang gila sampai ia sadar, orang tidur sampai ia bangun, dan anak kecil sampai ia
dewasa” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan lainnya. Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini
Hasan Shahih).
Sedangkan menurut pendapat masyhur dalam Madzhab Hanafi, balig dan berakal tidak
termasuk syarat orang yang berkurban. Artinya, baik anak kecil ataupu orang gila, apabila memiliki
harta dengan leluasa (mûsiran), maka wali atau yang mengurusnya hendaknya berkurban untuk
keduanya. Pendapat ini juga merupakan pendapatnya Malikiyyah. Demikian juga Hanabilah tidak
mensyaratkan baligh untuk berkurban.
2. Berada di tempat, tidak sedang bepergian (al-iqâmah).
Menurut Hanafiyyah, bagi yang hendak berkurban disyaratkan berada di tempat. Sedangkan
bagi yang sedang bepergian (musafir), maka tidak wajib kurban baginya. Di antara alasannya,
karena para sahabat tidak melakukan kurban ketika sedang bepergian. Di samping itu, mereka yang
sedang bepergian juga termasuk di antara mustahik zakat (ibnu sabil) apabila sangat memerlukan,
sekalipun ia adalah orang kaya di kampungnya. Oleh karena itu, maka tidak wajib berkurban
baginya.
Sedangkan Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa berada di tempat bukan syarat untuk berkurban.
Baik sedang bepergian ataupun berada di tempat, apabila mampu untuk berkurban, maka sunnat
baginya melakukan kurban. Jumhur berargumen dengan keumuman dalil-dalil yang menganjurkan
kurban, yang tidak dibatasi dengan bepergian atau sedang berada di tempat, juga tidak dibatasi
apakah sedang melakukan ibadah haji ataupun tidak.
Senada dengan pendapat Jumhur, madzhab Maliki juga demikian. Hanya saja, Malikiyyah tidak
mensunnahkan kurban bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji. Malikiyyan berargumen, di
sampang banyak sahabat yang tidak berkurban ketika sedang haji, juga berdalih bahwa mereka yang
sedang melakukan ibadah haji punya tanggungan hadyu, oleh karena itu tidak dibebankan lagi
dengan udhiyyah (kurban).
Kurban untuk yang sudah meninggal dunia
Para ulama berbeda pendapat tentang hokum berkurban untuk yang sudah meninggal dunia,
dalam dua pendapat:
Pendapat pertama, mengatakan bahwa berkurban bagi yang sudah meninggal dunia
diperbolehkan. Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Hanafi, Hanabilah, dan Syafi’iyyah. Hanya
6
saja, sebagian Syafi’iyyah berpendapat, diperbolehkan apabila mayat tersebut berwasiat terlebih dahulu.
Apabila tidak berwasiat untuk berkurban, maka tidak sunnat untuk berkurban untuknya.
Di antara dalil yang dikemukakan pendapat pertama ini adalah hadits-hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِي رَافِعٍ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان إذا ضحى، اشترى كبشين سمينين أملحين
أقرنين، فإذا خطب و صلى ذبح أحد الكبشين بنفسه بالمدية، ثم يقول: ((اللهم هذا عن أمتي جميعا،
من شهد لك بالتوحيد، و شهد لي بالبلاغ)) ثم أتي بالآخر فذبحه و قال: ((اللهم هذا عن محمد و آل
محمد))، ثم يطعمهما المساكين، و يأكل هو و أهله منهما، فمكثنا سنين قد كفانا الله الغرم و المئونة،
ليس أحد من بني هاشم يضحي [رواه الحاكم والبيهقي وغيره]
Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau
membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing
mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua
hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini
adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul,
utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya
dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad
dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada
orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya
itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan
denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki
dan lainnya).
Dalam hadits ini, Rasulullah saw melakukan kurban untuk seluruh ummatnya, baik yang masih
hidup ataupun yang sudah meninggal dunia, yang meyakini keesaan Allah, dan kerasulan Nabi
Muhammad saw. Dengan demikian, hadits ini menjadi dalil bahwa berkurban untuk yang sudah
meninggal dunia diperbolehkan.
Dalil lainnya adalah hadits di bawah ini:
عن جابر بن عبد الله رضي الله أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى للناس يوم النحر، فلما
فرغ من خطبته وصلاته، دعا بكبش فذبحه هو بنفسه وقال: ((بسم الله والله أكبر، اللهم عني وعمن
لم يضح من أمتي)) [رواه البيهقي والحاكم وأحمد وغيره]
Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya Rasulullah saw shalat Idul Adha bersama orang-orang
saat itu. Ketika beliau selesai khutbah dan shalat, beliau mengambil seekor domba, kemudian
menyembelihnya dengan tangannya sendiri sambil berdoa (ketika hendak menyembelihnya): ‘Bismillâh
wallâhu akbar, (dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar), ya Allah, ini adalah kurban
saya, juga kurban ummatku yang tidak mampu melaksanakan kurban” (HR. Baihaki, Hakim, Ahmad
dan lainnya).
Hadits ini pun senada dengan hadits sebelumnya, bahwa Rasulullah saw berkurban untuk
seluruh ummatnya, termasuk yang sudah meninggal dunia yang belum melakukan kurban. Dengan
demikian, berkurban kepada yang sudah meninggal dunia hukumnya diperbolehkan.
Dalam hadits lain disebutkan
عن حنش بن الحارث قال: كان علي بن أبي طالب رضي الله عنه يضحي بكبش عن رسول الله صلى
الله عليه و سلم، وبكبش عن نفسه، قلنا: يا أمير المؤمنين، تضحي عن رسول الله صلى الله عل يهو
سلم؟ قال: إن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمرني أن أضحي عنه أبدأ، فأنا أضحي عنه أبدا
[رواه البيهقي وأبو داود والحاكم وغيره]
Artinya: “Dari Hansy bin al-Harits berkata: “Adalah Ali bin Abi Thalib berkurban satu ekor domba
untuk Rasulullah saw (padahal Rasulullah saw saat itu sudah meninggal dunia), dan satu domba lagi
7
untuk kurbannya. Kami lalu berkata: “Wahai Amiral Mukminin, anda berkurban untuk Rasulullah saw?
Ali menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah saw telah memerintahkanku agar berkurban untuk beliau
selamanya, dan saya akan berkurban untuk beliau selama-lamanya” (HR. Baihaki, Abu Daud, Hakim
dan lainnya).
Hadits di atas lebih tegas lagi akan bolehnya berkurban untuk yang sudah meninggal dunia. Hal
ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib terhadap Rasulullah saw yang sudah wafat
pada saat itu. Kalau saja, berkurban untuk yang sudah meninggal dunia itu tidak diperbolehkan, tentu
Rasulullah saw tidak akan menyuruh Ali berkurban untuk diri Rasulullah saw.
Selain itu, pendapat pertama juga berargumen, bahwa kematian bukanlah halangan untuk
berbuat kebaikan bagi yang sudah meninggal dunia. Mereka pun masih tetap dapat menikmati pahala
dari yang dipersembahkan oleh keluarga atau orang-orang yang masih hidup. Dan para ulama telah
sepakat, bolehnya bersedekah bagi yang sudah meninggal dunia, juga bolehnya menghajikan mereka
yang telah tiada. Apabila hal ini dibenarkan, maka demikian juga dengan berkurban, karena semuanya
itu sama-sama berupa ibadah (taqarrub ilallâh).
Pendapat kedua, berpendapat bahwa berkurban untuk yang sudah meninggal dunia makruh
(dibenci). Di antara dalil kuatnya adalah, bahwa hal itu tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, juga
oleh salah satu ulama salaf dahulu. Dengan demikian, ini berarti bahwa berkurban untuk yang sudah
meninggal dunia dibenci.
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat Jumhur ulama
yang berpendapat bahwa berkurban untuk yang sudah meninggal dunia diperbolehkan, dan merupakan
tambahan pahala bagi yang sudah tiada, baik ia berwasiat sebelumnya ataupun tidak berwasiat. Hal ini,
mengingat dalil-dalil pendapat pertama sangat kuat.
Demikian juga berdasarkan sebuah hadits shahih di bawah ini:
عَنْ بُرَيْدَةَ رضى الله عنه قَالَ: بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ
فَقَالَتْ: إِنِّى تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّى بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ, فَقَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((وَجَبَ
أَجْرُكِ وَرَدَّهَا عَلَيْكِ المِْيرَاثُ)). قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟ قَالَ:
(( صُومِى عَنْهَا )). قَالَتْ: إِنَّهَا لَمْ تحَُجَّ قَطُّ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: ((حُجِّى عَنْهَا)) [رواه مسلم].
Artinya: “Buraidah berkata, ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba datang
seorang perempuan berkata: “Saya bersedekah seorang budah perempuan untuk ibu saya yang sudah
meninggal dunia”. Rasulullah saw bersabda: “Kamu berhak mendapatkan pahala, dan itu tidak
termasuk dalam bagian harta waritsan kamu”. Ia berkata kembali: “Ya Rasulullah, ibu saya juga
mempunyai kewajiban puasa satu bulan, apakah saya boleh berpuasa untuknya?” Rasulullah saw
bersabda: “Berpuasalah untuknya”. Ia berkata lagi: “Ibu saya juga belum pernah haji satu kalipun,
apakah saya boleh berhaji untuknya?” Rasulullah saw bersabda: “Berhajilah untuknya” (HR. Muslim).
Hadits ini menegaskan, bahwa ibadah yang dilakukan oleh mereka yang masih hidup, terutama
ahli waritsnya, yang ditujukkan untuk yang sudah meninggal dunia, pahalanya sampai. Untuk itu,
hemat penulis, sebaiknya kita tidak mempersempit persoalan seperti ini dengan mengatakan bahwa
yang sudah meninggal dunia sudah terputus amalnya kecuali tiga hal sebagaimana disebutkan dalam
hadits shahih, karena diterima tidaknya merupakan hak pereogatif Allah swt.
Dan bagi Allah, bukan sesuatu yang tidak mungkin, untuk menerima amal yang dilakukan
seseorang baik bagi yang masih hidup ataupun kepada yang sudah meninggal dunia, sebagaimana, di
antaranya, disebutkan dalam hadits di atas. Dan juga tidak menutup kemungkinan bagiNya, untuk
memberikan pahala bagi yang hidup dan mati sekaligus hanya dengan melakukan satu amal perbuatan,
seperti kurban yang ditujukan kepada yang sudah tiada. Wallahu a’lam bis shawab.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan hewan kurban
Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan hewan yang akan
dikurbankan. Syarat-syarat dimaksud adalah sebagai berikut:
8
1. Hendaknya hewan kurban dari binatang ternak (an’âm).
Binatang ternak dimaksud adalah Unta, sapi dan sejenisnya seperti kerbau, domba atau
kambing, baik yang jantan ataupun yang betina. Demikian pendapat jumhur ulama dari
Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Hal ini berdasarkan firman Allah di bawah ini:
[ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَْنْعَامِ [الأنعام: 34
Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka…” (QS.
Al-Hajj: 34).
Dan yang disebut dengan binatang ternak dalam ayat di atas adalah unta, sapi (kerbau) dan
domba (kambing). Di samping itu, Rasulullah saw dan para sahabatnya tidak berkurban melainkan
dengan binatang ternak di atas.
Sedangkan menurut Zhahiriyyah, hewan yang boleh dijadikan binatang kurban adalah semua
binatang yang boleh dimakan dagingnya, baik berkaki empat seperti baik kuda, unta, sapi liar,
kambing, domba, atau jenis burung, seperti ayam, dan seluruh jenis burung. Zhahiriyyah
berargumen, bahwa kurban adalah ibadah, dan ibadah dapat dilakukan oleh binatang apa saja,
selama tidak ada larangan dari syara’.
Dan, syara’ tidak melarang hewan-hewan lain selain binatang ternak. Bahkan, dalam banyak
hadits Rasulullah saw juga memperbolehkan kurban dengan ayam, telor dan lainnya yang bukan
termasuk binatang ternak, sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
عن أبي هريرة رضيه الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((من اغتسل يوم الجمعة غسل
الجنابة ثم راح في الساعة الأولى فكأنما قرب بدنة, ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب
بقرة, ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشا أقرن, ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما
قرب دجاجة, ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة, فإذا خرج الإمام حضرت الملائكة
يستمعون الذكر)) [رواه البخاري]
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mandi
pada hari Jum’at sebagaimana mandi junub, lalu ia pergi pada waktu pertama (sangat pagi), maka
seolah-olah ia telah berkurban seekor unta. Siapa yang pergi pada waktu kedua, seolah-olah telah
berkurban seekor sapi. Siapa yang pergi pada waktu ketiga, seolah-olah ia telah berkurban seekor
domba, siapa yang perginya pada waktu keempat, seolah-olah ia telah berkurban seekor ayam, dan
barang siapa yang perginya pada waktu kelima, maka seolah-olah ia telah berkurban sebutir telur.
Dan apabila khatib telah keluar (untuk khutbah), maka para malaikat hadir mendengarkan khutbah”
(HR. Bukhari).
Namun, pendapat Zhahiriyyah ini adalah pendapat yang lemah, mengingat ia melihat hanya dari
sisi kurban secara umum, dalam pengertian sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Dalam
kaitan dengan kurban, tentu tidak demikian. Terdapat aturan-aturan yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah saw tentang kurban ini, di antaranya adalah bahwa hewan kurban hendaknya dari
binatang ternak yang telah disebutkan di atas sebagaimana pendapatnya Jumhur Ulama.
2. Usia tertentu dari hewan kurban
Selain syarat harus binatang ternak, syarat lainnya yang berkaitan dengan binatang kurban
adalah setiap hewan kurban harus musinnah, yaitu lebih dari dua tahun. Namun, ukuran musinnah,
setiap binatang berbeda satu sama lain.
Musinnah untuk jenis domba atau kambing, hendaknya domba atau kambing tersebut berusia
satu tahun masuk tahun ke dua, musinnah jenis sapi, telah berusia dua tahun, dan masuk pada tahun
ketiga. Musinnah unta, hendaknya telah berusia lima tahun dan masuk usia enam tahun. Dan tidak
dipandang cukup berkurban dengan sapi atau unta yang usianya di bawah umur tersebut. Hal ini
berdasarkan hadits di bawah ini:
9
)) عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّةً، إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ
فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ)) [رواه مسلم]
Artinya: “Jabir berkata, Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian berkurban kecuali dengan
musinnah (hewan yang mempunyai umur tertentu sebagaimana dijelaskan di atas), kecuali apabila
memberatkan kalian, maka boleh seekor domba yang masih jadza’ah (yaitu domba yang belum
mencapai usia musinnah)” (HR. Muslim).
Berdasarkan hadits di atas, untuk jenis domba, apabila domba musinnah susah didapatkan atau
tidak ada, namun tetap gemuk dan sehat, maka sekalipun usianya belum mencapai musinnah, masih
jadza’ah (enam bulan atau kurang dari satu tahun), diperbolehkan untuk dijadikan hewan kurban.
Hanya saja, hal ini apabila domba musinnah betul-betul tidak ada. Apabila ada yang musinnah,
tentu tidak diperbolehkan menjadikan domba yang jadza’ah dijadikan hewan kurban.
Namun, untuk kambing, hanya diperbolehkan apabila telah mencapai musinnah (usia satu tahun
masuk tahun kedua), dan tidak boleh dijadikan hewan kurban manakala masih berusia jadza’ah
(kurang dari satu tahun). Demikian kesepakatan para ulama. Hal ini berdasarkan hadits di bawah
ini:
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: ذَبَحَ أَبُو بُرْدَةَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: ((أَبْدِلْهَا )),
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ عِنْدِى إِلاَّ جَذَعَةٌ - قَالَ شُعْبَةُ وَأَظُنُّهُ قَالَ - وَهِىَ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّةٍ. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ((اجْعَلْهَا مَكَانَهَا وَلَنْ تجَْزِىَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ)) [أخرجه البخاري
ومسلم].
Artinya: “Barâ bin ‘Âzib berkata: “Abu Burdah menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat ‘Id
dimulai, Rasulullah saw kemudian bersabda: “Gantilah hewan kurban kamu dengan yang lainnya”
Abu Burdah berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak mempunyai hewan lain selain Jadza’ah (yaitu
hewan kurban yang apabila domba usianya baru enam bulan, kurang dari satu tahun). Syu’ban
berkata: “Saya mengira ia berkata: ‘Jadza’ah lebih baik dari musinnah (yaitu hewan yang apabila
domba sudah berusia satu tahun masuk tahun kedua)’. Rasulullah saw bersabda: “Jadikan Jadza’ah
ini sebagai pengganti hewan yang telah dipotong sebelum shalat id tersebut, namun hewan Jadza’ah
tidak mencukupi dijadikan hewan kurban kepada siapapun setelah kamu” (HR. Bukhari Muslim).
3. Hewan kurban tersebut tidak mempunyai cacat parah.
Para ulama membagi cacat dalam hewan kurban, kepada tiga bagian:
Pertama, cacat yang menyebabkan hewan kurban tersebut tidak sah. Cacat yang termasuk
dalam jenis ini ada empat, yaitu:
1. Hewan tersebut buta sebelah matanya (al-‘aurâ) apalagi buta kedua matanya (al-‘umyâ).
2. Hewan tersebut sakit parah (al-marîdhah al-bayyin maradhuhâ). Apabila sakitnya ringan, tidak
mengapa dijadikan hewan kurban.
3. Hewan tersebut pincang kakinya (al-‘arjâ), apalagi kalau kakinya terputus atau bunting.
4. Hewan tersebut tidak mempunyai otak saking lemah dan kurusnya (al-‘ujafâ).
Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:
عن البراء بن عازب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((أربع لا تجزئ في الأضاحي
العوراء البين عورها، والمريضة البين مرضها، والعرجاء البين ظلعها، والكسيرة اللتي لا تنقي))
[رواه ابن ماجه، وأحمد والنسائي]
Artinya: “Dari al-Barrâ bin ‘Âzib, Rasulullah saw bersabda: “Ada empat hal yang tidak mencukupi
apabila dijadikan hewan kurban: binatang yang buta sebelah matanya, binatang yang sakit parah,
binatang yang pincang kakinya, dan binatang yang tidak mempunyai otak, saking kurus dan
lemahnya’ (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Nasai).
10
Kedua, cacat yang dibenci. Cacat jenis ini apabila ada pada hewan kurban, maka
diperbolehkan untuk dijadikan kurban, namun sebaiknya cacat-cacat ini dijauhi dan dihindari.
Cacat yang masuk jenis ini ada dua, yaitu:
1. Kedua kupingnya kecil atau salah satunya, atau sebagian telinganya terputus, namun bagian
yang terputusnya masih nempel atau sebagian telinganya terputus dan bagian yang terputusnya
itu tidak nempel. Untuk cacat-cacat seperti ini, para ulama membolehkan untuk dijadikan hewan
kurban, hanya makruh hukumnya. Namun, jumhur ulama sepakat, apabila salah satu atau kedua
kuping hewan tersebut tidak ada, maka tidak sah dijadikan sebagai hewan kurban.
2. Tidak bertanduk, baik karena sejak lahir atau karena suatu hal, juga kedua tanduk atau salah
satunya pecah, hilang atau sebagian dari tanduknya. Para ulama memandang cukup untuk
dijadikan hewan kurban, hanya hukumnya makruh.
Ketiga, cacat yang tidak mengapa untuk hewan kurban. Cacat-cacat dimaksud dipandang tidak
mengapa dalam berkurban, dan hewan yang dijadikan kurbannya dipandang telah sesuai, namun
tetap tidak sempurna pahalanya. Cacat-cacat dimaksud adalah, hewan tersebut tidak mempunyai
gigi (al-hatmâ), ekor atau buah kemaluannya terputus (al-batrâ), dan hewan yang hidungnya
terputus (al-jad’â’), demikian menurut Zhahiriyyah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah, hewan yang terputus hidungnya tidak mencukupi dijadikan
hewan kurban. Cacat-cacat di atas diperdebatkan oleh para ulama, antara yang membolehkan dan
yang mentidakbolehkannya. Namun, dibandingkan cacat sebelumnya, cacat-cacat terakhir termasuk
kategori ringan.
Para ulama yang memandang mencukupi sebagai hewan kurban sekalipun ada cacat-cacat
tersebut, karena tujuan dari kurban adalah dagingnya. Selama hewan tersebut gemuk dan dagingnya
banyak, sekalipun hanya putus hidungnya, tidak mengapa.
Selain itu, hal yang lebih perlu diperhatikan dalam memilih hewan kurban adalah usianya. Dan
hilangnya gigi, biasanya berkaitan dengan usia setiap hewan tersebut. Semakin agak tua, maka
semakin sedikit giginya. Oleh karena itu, tidak adanya gigi, bukanlah termasuk cacat yang
menyebabkan hewan tersebut tidak mencukupi dijadikan kurban.
Namun demikian, tentu sebaiknya ketika memilih hewan kurban, diambil hewan-hewan yang
sehat, gemuk, dan tidak ada cacatnya sekalipun cacatnya itu pada cacat jenis ketiga. Karena,
semakin sempurna dan bagus, tentu semakin besar pahalanya.
Apakah seekor domba atau kambing, hanya mencukupi untuk satu orang atau boleh lebih?
Apabila seseorang hendak berkurban dengan seekor domba atau kambing, apakah ia telah
dipandang mencukupi kurban untuk dirinya saja atau termasuk juga keluarganya? Para ulama dalam hal
ini terbagi dua pendapat.
Pendapat pertama mengatakan, seekor kambing atau domba dipandang mewakili kurbannya satu
orang berikut anggota keluarganya yang berada dalam tanggungan nafkahnya. Oleh karena itu, apabila
seorang suami berkurban seekor domba dan kambing, maka kurbannya itu dipandang sebagai
kurbannya, juga kurban isteri dan anak-anaknya dan atau kurban ibu bapaknya apabila keduanya berada
dalam tanggungannya.
Pendapat ini merupakan pendapatnya Ibnu Umar, Abu Hurairah, Imam Laits, Imam Auza’i,
Ishak, juga pendapatnya Malikiyyah.
Sedangkan menurut Syafi’iyyah, bahwa berkurban hukumnya sunant kifayah. Maksudnya,
apabila satu keluarga sudah ada yang berkurban, maka yang lain mendapatkan pahala sunnat tersebut.
Imam Rifai sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ mengatakan bahwa satu
kambing atau domba hanya untuk satu orang saja, namun, apabila seseorang berkurban, maka syiar
sunnah menyebar ke seluruh anggota keluarganya. Namun demikian, disunnatkan setiap anggota
keluarga mempunyai kurban masing-masing Pendapat ini juga merupakan pendapatnya Hanabilah dan
Ibnu Hazm azh-Zhahiry.
Di antara dalil pendapat pertama ini adalah hadits-hadits di bawah ini:
11
عَنْ أَبِي رَافِعٍ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان إذا ضحى، اشترى كبشين سمينين أملحين
أقرنين، فإذا خطب و صلى ذبح أحد الكبشين بنفسه بالمدية، ثم يقول: ((اللهم هذا عن أمتي جميعا،
من شهد لك بالتوحيد، و شهد لي بالبلاغ)) ثم أتي بالآخر فذبحه و قال: ((اللهم هذا عن محمد و آل
محمد))، ثم يطعمهما المساكين، و يأكل هو و أهله منهما، فمكثنا سنين قد كفانا الله الغرم و المئونة،
ليس أحد من بني هاشم يضحي [رواه الحاكم والبيهقي وغيره]
Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau
membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing
mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua
hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini
adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul,
utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya
dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad
dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada
orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya
itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan
denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki
dan lainnya).
عن عبد الله بن هشام، وكان قد أدرك النبي صلى الله عليه و سلم، وذهبت به أمه زينب بنت حميد
إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالت: يا رسول الله بايعه، فقال النبي صلى الله عليه و سلم:
(( هو صغير ))، فمسح رأسه ودعا له، وكان يضحي بالشاة الواحدة عن جميع أهله [رواه البخاري]
Artinya: “Dari Abdullah bin Hisyam, dan ia termasuk sahabat yang bertemu Rasulullah saw, ibunya
yaitu Zainab bint Humaid pernah pergi kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Ya Rasulallah, baiatlah
dia”. Rasulullah saw bersabda: “Dia masih kecil”. Rasulullah saw lalu mengusap kepalanya serta
mendoakannya. Dan Rasulullah saw menyembelih kurban berupa seekor domba untuk seluruh anggota
keluarganya” (HR. Bukhari).
عن أبي طلحة: أن النبي صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أملحين، فقال عند الذبح: ((الأول عن
محمد وآل محمد))، وقال عند الذبح: ((الثاني عمن آمن بي وصدق من أمتي)) رواه أبو يعلى
والطبراني]
Artinya: “Dari Abu Thalhah, bahwasannya Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor domba berwarna
putih bersih. Rasul lalu bersabda ketika menyembelih domba pertama: “Domba pertama ini untuk
Muhammad dan keluarga Muhammad” dan ketika menyembelih domba kedua, beliau bersabda:
“Sedangkan domba kedua untuk ummatku yang beriman dan membenarkanku” (HR. Abu Ya’la, dan
Thabrani).
عن عطاء بن يسار قال: سألت أبا أيوب الأنصاري: كيف كانت الضحايا فيكم على عهد رسول الله
صلى الله عليه وسلم ؟ قال: كان الرجل في عهد النبي صلى الله عليه و سلم يضحى بالشاة عنه
وعن أهل بيته، فيأكلون ويطعمون، حتى تباهى الناس فصار كما ترى [رواه ابن ماجه والترمذي
والبيهقي، وقال الشيخ الألباني : صحيح]
Artinya: “Atha bin Yasar berkata: “Saya bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshary: “Bagaimana
berkurban pada masa Rasulullah saw?” Abu Ayyub menjawab: “Pada masa Rasulullah saw, seseorang
berkurban dengan seekor domba untuk dirinya dan untuk anggota keluarganya. Mereka memakannya
dan membagikannya kepada orang lain, sehingga orang-orang berteriak satu sama lain, sebagaimana
yang kamu lihat” (HR. Ibnu Majah, Turmudzi, Baihaki, dan Albany berkata: “Hadits ini Shahih”.
12
Selain hadits-hadits di atas, juga masih banyak hadits lainnya yang menegaskan bahwa satu
domba atau kambing dapat untuk satu orang atau lebih dari anggota keluarganya. Di samping hadits,
juga dikutkan oleh atsar para sahabat. Misalnya, bahwasannya Hisyam bin Abdullah berkurban dengan
satu ekor domba untuk seluruh anggota keluarganya.
Ketika Abu Hurairah berkurban seekor domba untuknya, tiba-tiba datang putrinya berkata:
“Apakah kurban ini untuk saya?” Abu Hurairah menjawab: “Iya, juga untuk kamu”. Demikian juga
dalam sebuah riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib, beliau berkurban dengan satu domba untuk
seluruh anggota keluarganya.
Pendapat kedua, mengatakan bahwa satu ekor domba atau kambing, hanya dapat dikurbankan
untuk satu orang saja. Pendapat ini adalah pendapatnya Ibnu Sirin, Imam Tsaury, Hammad bin Abi
Sulaiman, Hanafiyyah juga Daud ad-Zhahiry.
Pendapat kedua ini berdalih bahwa satu ekor kambing atau domba hanya mencukupi untuk satu
orang saja, dikiaskan dengan apabila dua orang bukan anggota keluarganya, berkurban, maka tidak
boleh keduanya bersekutu dalam satu kambing. Akan tetapi masing-masing harus satu kambing.
Dari dua pendapat di atas, hemat penulis, pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama
yang mengatakan bahwa satu ekor domba atau kambing cukup dipakai berkurban untuk dirinya dan
seluruh anggota keluarganya. Hal ini karena berdasarkan hadits-hadits shahih juga berdasarkan praktek
Rasulullah saw dan para sahabatnya.
Adapun mengkiaskannya dengan orang asing, sebagaimana dilakukan oleh pendapat kedua,
adalah tidak tepat, qiyas ma’al fâriq. Karena, orang asing itu bukan tanggungannya, adapaun anggota
keluarga adalah tanggungannya untuk menafkahinya.
Lalu bagaimana dengan seekor unta juga seekor sapi?
Untuk seekor unta atau sapi, diperbolehkan berserikat (patungan) dalam berkurban untuk tujuh
orang, baik yang patungan tersebut kerabat atau orang lain . Hal ini didasarkan kepada, di antaranya,
dua hadits di bawah ini:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ الحُْدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ،
وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ [رواه مسلم].
Artinya: “Jabir bin Abdullah berkata: “Kami berkurban bersama Rasulullah saw pada perang
Hudaibiyyah, seekor unta dan seekor sapi masing-masing oleh bertujuh orang” (HR. Muslim).
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: كُنَّا نَتَمَتَّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالْعُمْرَةِ، فَنَذْبَحُ الْبَقَرَةَ عَنْ
سَبْعَةٍ نَشْتَرِكُ فِيهَا [رواه مسلم].
Artinya: “Jabir bin Abdullah berkata: “Kami melakukan haji tamattu’ bersama Rasulullah saw, lalu
kami menyembelih seekor sapi, untuk tujuh orang yang patungan satu sama lain” (HR. Muslim).
Waktu kurban
Menurut pendapat yang paling kuat, waktu kurban adalah setelah shalat Idul Adha, sampai tiga
hari tasyrik (sebelum maghrib tanggal 13 Dzulhijjah). Hal ini di antaranya berdasarkan hadits di bawah
ini:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه و سلم: (( من ذبح قبل الصلاة فإنما
ذبح لنفسه، ومن ذبح بعد الصلاة، فقد تم نسكه وأصاب سنة المسلمين)) [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang menyembelih hewan kurban
sebelum shalat Id, maka ia menyembelih biasa untuk dirinya. Dan siapa yang menyembelihnya setelah
shalat Id, maka sungguh ia telah menyempurnakan ibadahnya, dan telah sesuai dengan sunnah ummat
Islam” (HR. Bukhari Muslim).
13
] (( عن جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((أَيَّامُ التَّشْرِيقِ كُلُّهَا ذَبْحٌ رواه
البيهقي والطبراني]
Artinya: “Dari Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, Rasulullah saw bersabda: “Hari-hari tasyriq itu
semuanya adalah waktu untuk berkurban” (HR. Baihaki dan Thabrani).
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang hendak berkurban:
1. Tidak mencukur atau mencabut rambut dan bulu-buluan yang ada dalam tubuhnya, juga mencabut
atau memotong kuku sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai ia memotong hewan kurbannya (tanggal 10-
13 Dzulhijjah).
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Pendapat pertama, mengatakan, bahwa orang yang
hendak berkurban, haram hukumnya mencabut atau menggunting atau memotong rambut, kuku,
juga bulu-bulu yang ada dalam tubuhnya, termasuk bulu ketak dan sejenisnya sejak tanggal 1
Dzulhijjah sampai ia memotong hewan kurbannya itu.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Said bin al-Musayyib, Ishak, dan sebagian
pendapat Syafi’iyyah, juga pendapatnya Hanabilah.
Pendapat kedua, mengatakan, bukan haram tapi makruh saja. Pendapat ini merupakan
pendapatnya Malikiyyah, sebagian Hanabilah, dan pendapat masyhur di kalangan Syafi’iyyah.
Pendapat ketiga mengatakan, tidak haram, juga tidak makruh, hanya tidak afdhal saja (khilaf alaulâ),
dan pendapat ini merupakan pendapatnya Hanafiyyah.
Perbedaan tersebut dikarenakan pemahaman yang berbeda tentang larangan yang terdapat
dalam hadits riwayat Muslim. Pendapat pertama, memahaminya sebagai haram, pendapat kedua
sebagai makruh, pendapat ketiga, hanya sebatas tidak afdhal saja. Hadits dimaksud adalah:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (( إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ،
فَلاَ يمََسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا)) [رواه مسلم]
Artinya: “Dari Ummu Salamah, Rasulullah saw bersabda: “Apabila sudah masuk sepuluh hari
pertama dari bulan Dzulhijjah, dan seseorang berniat untuk berkurban, maka janganlah ia
memotong rambutnya dan bulu-bulu yang berada di kulitnya” (HR. Muslim).
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (( إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الحِْجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ
يُضَحِّىَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ)). [رواه مسلم]
Artinya: “Dari Ummu Salamah, Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian telah melihat hilal bulan
Dzulhijjah, dan seseorang berniat untuk berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kukukukunya”
(HR. Muslim).
Hemat penulis, pendapat yang mengatakan hukumnya makruh saja lebih tepat. Larangan
memotong kuku dan rambut tersebut, menurut sebagian ulama karena disamakan dengan orang
yang sedang melakukan ibadah haji dalam keadaan masih ihram. Sebagian yang lain
berpendapat, larangan tersebut bertujuan, agar semua anggota badannya itu kelak menjadi saksi
di hari kiamat. Karena itu, semakin banyak anggota badannya yang belum digunting, semakin
banyak juga saksi kebaikannya.
2. Bila memungkinkan, sebaiknya yang kurban menyembelih hewan kurbannya sendiri atau
menyaksikannya
Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِي رَافِعٍ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان إذا ضحى، اشترى كبشين سمينين
أملحين أقرنين، فإذا خطب و صلى ذبح أحد الكبشين بنفسه بالمدية، ثم يقول: ((اللهم هذا عن
أمتي جميعا، من شهد لك بالتوحيد، و شهد لي بالبلاغ)) ثم أتي بالآخر فذبحه و قال: ((اللهم هذا
14
عن محمد و آل محمد))، ثم يطعمهما المساكين، و يأكل هو و أهله منهما، فمكثنا سنين قد كفانا
الله الغرم و المئونة، ليس أحد من بني هاشم يضحي [رواه الحاكم والبيهقي وغيره]
Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau
membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing
mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua
hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan
ini adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai
rasul, utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu
menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah
kurbannya Muhammad dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging
kedua kurbannya itu kepada orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging
dari kedua hewan kurbannya itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah
menghindarkan kami dari kerugian dan denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani
Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki dan lainnya).
عن جابر بن عبد الله رضي الله أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى للناس يوم النحر،
فلما فرغ من خطبته وصلاته، دعا بكبش فذبحه هو بنفسه وقال: ((بسم الله والله أكبر، اللهم
عني وعمن لم يضح من أمتي)) [رواه البيهقي والحاكم وأحمد وغيره]
Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya Rasulullah saw shalat Idul Adha bersama orangorang
saat itu. Ketika beliau selesai khutbah dan shalat, beliau mengambil seekor domba, kemudian
menyembelihnya dengan tangannya sendiri sambil berdoa (ketika hendak menyembelihnya):
‘Bismillâh wallâhu akbar, (dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar), ya Allah, ini
adalah kurban saya, juga kurban ummatku yang tidak mampu melaksanakan kurban” (HR. Baihaki,
Hakim, Ahmad dan lainnya).
Di samping hadits-hadits di atas, kurban adalah sebuah ibadah, oleh karena itu, apabila
dilakukan sendiri, tanpa diwakilkan ke orang lain, tentu lebih utama.
Namun, apabila tidak memungkinkan, boleh diwakilkan menyembelihnya kepada orang lain,
dengan catatan, sebaiknya orang yang berkurban hadir dan menyaksikan pemotongan hewan
kurbannya itu. Hal ini di antaranya berdasarkan hadits di bawah ini:
عن جابر.....أن النبي صلى الله عليه وسلم ساق معه مائة بدنة، فلما انصرف إلى المنحر نحر
ثلاثا وستين بيده، ثم أعطى عليا فنحر ما غبر منها [رواه مسلم]
Artinya: “Dari Jabir, …bahwasannya Rasulullah saw membawa seratus ekor unta untuk
dikurbankan. Ketika beliau sampai di manhar (tempat menyembelih), beliau menyembelih sebanyak
enam puluh tiga ekor unta dengan tangan beliau sendiri. Kemudian, beliau berikan kepada Ali, dan
Ali menyembelih sisanya” (HR. Muslim).
Selain itu, juga berdasarkan hadits di bawah ini:
عن عمران بن حصين رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال: ((يا فاطمة
قومي إلى أضحيتك فاشهديها، فإنه يغفر لك عند أول قطرة تقطر من دمها كل ذنب عملتيه،
وقولي: إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين، لا شريك له وبذلك أمرت، وأنا من
المسلمين)) قال عمران: قلت : يا رسول الله، هذا لك ولأهل بيتك خاصة فأهل ذاك أنتم أم
للمسلمين عامة ؟ قال : ((لا بل للمسلمين عامة)) [رواه الحاكم، وقال: هذا حديث صحيح الإسناد
ولم يخرجاه)).
Artinya: “Dari Imran bin Hushain, Rasulullah saw bersabda: “Wahai Fatimah, bangun dan
saksikanlah hewan kurbanmu itu, karena seluruh dosa yang pernah kamu perbuat, akan diampuni
15
ketika darah pertama hewan kurbanmu memancar, serta ucapkanlah doa: ‘inna shalâtî, wa nusukî,
wa mahyâya, wa mamâtî lillâhi rabbil ‘âlamîn, lâ syarîka lahû wa bidzâlika umirtu wa ana minal
muslimîn (sesungguhnya shalat, pengorbanan, hidup juga matiku, semuanya hanya untuk Allah,
pemelihara alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagiNya, dank arena itulah aku diperintahkan, dan
aku termasuk orang muslim)”. Imran berkata: “Ya Rasulullah, apakah hal itu hanya untuk mu dan
keluargamu saja, atau untuk seluruh ummat Islam?” Rasulullah saw bersabda: “Untuk seluruh
ummat Islam” (HR. Hakim, dan ia berkata: “Hadits tersebut Shahih sanadnya, namun Bukhari
Muslim tidak meriwayatkannya).
3. Sambil menyaksikan pemotongan hewan kurbannya, hendaknya berdoa: inna shalâtî, wa nusukî,
wa mahyâya, wa mamâtî lillâhi rabbil ‘âlamîn, lâ syarîka lahû wa bidzâlika umirtu wa ana minal
muslimîn, sebagaimana disebutkan hadits di atas.
4. Memakan sebagian daging kurbannya.
Termasuk amalan sunnah bagi seseorang yang berkurban adalah hendaknya ia memakan
sebagian dari daging kurbannya itu, sebagai upaya tabarruk (mencari berkah), di samping
membagikannya juga kepada kerabat dan orang-orang miskin.
Di antara dalil bolehnya orang berkurban memakan daging kurbannya, adalah hadits di bawah
ini:
عَنْ أَبِي رَافِعٍ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان إذا ضحى، اشترى كبشين سمينين
أملحين أقرنين، فإذا خطب و صلى ذبح أحد الكبشين بنفسه بالمدية، ثم يقول: ((اللهم هذا عن
أمتي جميعا، من شهد لك بالتوحيد، و شهد لي بالبلاغ)) ثم أتي بالآخر فذبحه و قال: ((اللهم هذا
عن محمد و آل محمد))، ثم يطعمهما المساكين، و يأكل هو و أهله منهما، فمكثنا سنين قد كفانا
الله الغرم و المئونة، ليس أحد من بني هاشم يضحي [رواه الحاكم والبيهقي وغيره]
Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau
membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing
mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua
hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan
ini adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai
rasul, utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu
menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah
kurbannya Muhammad dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging
kedua kurbannya itu kepada orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging
dari kedua hewan kurbannya itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah
menghindarkan kami dari kerugian dan denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani
Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki dan lainnya).
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang berapa kadar seseorang diperbolehkan memakan
daging kurbannya? Para ulama dalam hal ini terbagi tiga pendapat:
Pendapat pertama mengatakan, bahwa orang yang kurban boleh memakan sepertiganya.
Apabila ia memakan lebih dari sepertiganya, maka boleh juga. Pendapat ini adalah pendapatnya
Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ishak, Hanafiyyah, Syafi’iyyah, juga Hanabilah.
Pendapat kedua, bahwa yang kurban boleh memakan setengah dari hewan kurbannya, dan
setengahnya lagi disedekahkan. Pendapat ini merupakan pendapatnya Imam Syafi’I dalam pendapat
lamanya.
Pendapat ketiga mengatakan, orang yang berkurban boleh memakan berapa saja sekehendaknya.
Tidak ada batasan berapa-berapanya, ia boleh memakannya lebih banyak dari pada
menyedekahkannya, atau juga sebaliknya. Pendapat ini adalah pendapatnya Zhahiriyyah.
Dari ketiga pendapat di atas, pendapat Jumhur ulama yaitu pendapat pertama, merupakan
pendapat yang paling kuat. Hal ini di antaranya berdasarkan hadits-hadits di bawah ini:
16
عن ابن عباس في صفة أضحية النبي صلى الله عليه وسلم قال: ويطعم أهل بيته الثلث، ويطعم
فقراء جيرانه الثلث، ويتصدق على السؤال الثلث"
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, tentang sifat berkurban Rasulullah saw, ia berkata: “Rasulullah saw
memberikan makan keluarganya dari daging kurban tersebut sepertiganya, memberikan kepada
tetangganya yang fakir, sepertiganya, dan bersedekah kepada peminta-minta juga se pertiganya”.
روي عطاء عن ابن مسعود أنه قال في الأضحية: أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نأكل
منها ثلثا، ونتصدق بثلثها، ونطعم الجيران ثلثها"
Artinya: “Atha meriwayatkan, bahwasannya Ibnu Mas’ud berkata dalam hal kurban: “Rasulullah
saw memerintahkan kami untuk memakan sepertiganya, bersedekah sepertiganya, dan
memberikannya kepada tetangga juga sepertiganya”.
Apakah ketika hendak memotong hewan kurban perlu disebutkan niat atau nama yang
kurbannya?
Para ulama sepakat, bahwa niat dalam kurban adalah harus. Karena hal ini untuk memisahkan
antara hewan tersebut untuk kurban, atau untuk makan biasa atau untuk dam pelaksanaan haji atau
lainnya.
Dan para ulama juga sepakat, bahwa tempat niat itu adanya di dalam hati, lisan hanya
membantu dan menguatkan saja.
Namun para ulama berbeda pendapat apakah niat tersebut perlu diucapkan ketika
menyembelihnya atau tidak?
Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian kecil pendapat Syafi’iyyah, bahwa seseorang
yang membeli kambing dengan niat untuk kurban, sudah dipandang cukup sebagai niat kurbannya, dan
tidak perlu disebutkan ketika hendak memotong hewannya itu.
Sedangkan menurut pendapat masyhur jumhur Syafi’iyyah, bahwa seseorang yang berniat
membeli hewan kurban tidak cukup dipandang sebagai niat untuk berkurban. Ia perlu menyertakan
niatnya itu ketika menyembelihnya.
Sedangkan menurut Hanabilah, niat kurban sebelum dipotong hewan kurbannya sudah
dipandang cukup, namun lebih baik lagi apabila ditajdid (diperbaharui) ketika memotongnya.
Hemat penulis, pendapat Hanabilah dalam hal ini lebih tepat. Artinya, niat sebelum memotong
sudah dipandang cukup, namun apabila dibaca kembali ketika memotong hewan kurban, tentu ini lebih
utama dan lebih baik. Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:

عَنْ أَبِي رَافِعٍ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان إذا ضحى، اشترى كبشين سمينين أملحين
أقرنين، فإذا خطب و صلى ذبح أحد الكبشين بنفسه بالمدية، ثم يقول: ((اللهم هذا عن أمتي جميعا،
من شهد لك بالتوحيد، و شهد لي بالبلاغ)) ثم أتي بالآخر فذبحه و قال: ((اللهم هذا عن محمد و آل
محمد))، ثم يطعمهما المساكين، و يأكل هو و أهله منهما، فمكثنا سنين قد كفانا الله الغرم و المئونة،
ليس أحد من بني هاشم يضحي [رواه الحاكم والبيهقي وغيره]

Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau
membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing
mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua
hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini
adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul,
utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya
dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad
dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada
orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya
17
itu.

Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan
denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki
dan lainnya).
Juga berdasarkan hadits di bawah ini:

عن جابر بن عبد الله رضي الله أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى للناس يوم النحر، فلما
فرغ من خطبته وصلاته، دعا بكبش فذبحه هو بنفسه وقال: ((بسم الله والله أكبر، اللهم عني وعمن
لم يضح من أمتي)) [رواه البيهقي والحاكم وأحمد وغيره]

Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya Rasulullah saw shalat Idul Adha bersama orang-orang
saat itu. Ketika beliau selesai khutbah dan shalat, beliau mengambil seekor domba, kemudian
menyembelihnya dengan tangannya sendiri sambil berdoa (ketika hendak menyembelihnya): ‘Bismillâh
wallâhu akbar, (dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar), ya Allah, ini adalah kurban
saya, juga kurban ummatku yang tidak mampu melaksanakan kurban” (HR. Baihaki, Hakim, Ahmad
dan lainnya). Wallahu a’lam bis shawab.


Penutup
Demikian sekelumit bahasan seputar Pengantar Fiqih Kurban, semoga bermanfaat khususnya
bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca semuanya. Apa yang benar, tentu datangnya dari
Allah dan RasulNya, dan apa yang salah, tentu datang dari setan dan juga dari diri saya, serta Allah dan
RasulNya lepas dari padanya. Wallâhu a’lam bis shawâb, wa ilaihil ma’âb

1 komentar:

" Terima Kasih Telah Berkunjung Kemari "
Semoga apa yang saya sampaikan dapat bermanfaat bagi anda semua .